Tulisan ini bermula dari status di akun facebook seorang teman bernama Christine Birong Nababan. seperti yang diliat setidaknya tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah, rusak karena menjadi sasaran amuk massa menyusul kerusuhan dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan di Pengadilan Negeri Temanggung, Selasa (8/2/2011).seperti inilah Birong Nababan mengeluarkan pendapatnya, "gereja hanya bangunan fisik! sesungguhnya, Tuhan menetap di hati kami masing-masing... monggo, kalo mau bakar gereja lainnya :)".
Ada rasa haru, sekaligus malu menyimak kalimat Birong. Bayangkanlah, Birong tak membalas perlakuan para pembakar gereja itu dengan caci-maki atau bahkan balas membakar rumah ibadah milik para pembakar. Tidak! Birong malah memberi ikon senyum di pungkasan kalimatnya.
Lantaran sikap Birong yang manis itulah, saya dibuatnya malu. Bayangkanlah, dia malah memberi senyum seraya menyilakan kepada perusak gereja untuk membakar gereja lainnya. Kontras benar dengan tayangan video di televisi yang menyajikan tayangan orang-orang yang murka dan membabi-buta, merusak apa saja yang ada di hadapan mereka, termasuk gereja, seperti yang banyak diberitakan oleh media massa.
Saya yakin, hati Birong dan saudara-saudara saya yang beragama Nasrani tersakiti oleh peristiwa ini, sebagaimana ketika Zaenal, kawan saya yang Muslim, mendengar kabar di Amerika ada pembakaran Al Quran, di Denmark surat kabar Jyllands-Posten memuat karikatur Nabi Mauhammad SAW.
Sama dengan sikap Birong, Zaenal dan sebagian umat Muslim lainnya juga menanggapinya dengan bijaksana, bahwa yang melakukan tindak penistaan terhadap Islam hanyalah oknum yang tak bertanggung jawab, oknum yang tak memikirkan akibat dari perbuatannya. Perbuatan oknum, jelas bukan gambaran dari keseluruhan.
Tentu saja, sebagian ada juga yang marah-marah. Mafhumlah, agama adalah fitrah. Menurut para pakar, di dalam jiwa manusia itu ada enam rasa/potensi, yaitu agama, intelek, sosial, susila, harga diri dan seni. Fitrah sendiri adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri manusia yang telah dibawanya semenjak lahir.
Terlepas dari musabab meletusnya kemarahan, betapapun setiap agama mengajarkan agar manusia bisa mengendalikan amarahnya sehingga tidak menimbulkan api yang bisa membakar apa saja. Yang jadi soal adalah, kenapa belakangan di negeri ini justru kemarahan senantiasa berujung pada ketidak-warasan akal. Rambu-rambu yang diajarkan oleh semua kitab suci seperti tak berarti apa-apa, demikian juga perangkat hukum yang menjaga ketertiban umum, tak berdaya menghadapi amarah warganya.
Tak terbayangkan, jika amarah sekelompok orang dibalas oleh kelompok lainnya. Tentu persoalan akan bertambah panjang dan semrawut, seperti kerusuhan antarsuku di Kalimantan beberapa waktu lalu.
Entahlah apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini. Tapi satu hal, rasanya kita telah kehilangan "cara bertanya" dan "cara menyampaikan pendapat" yang santun, yang dulu dicontohkan oleh leluhur kita.
Dalam keseharian, kerap benar kita menjumpai seorang anak atau remaja yang bertanya begini kepada kita, "Si Polan ada?" Pertanyaan yang dingin dan kaku tanpa menyebut terlebih dahulu orang yang ditanya. "Pak, Bu, Mas, Mba, Si Polan Ada?" Begitu misalnya.
Pun demikian ketika menyampaikan pendapat. Cara-cara berdialog rupanya dianggap bertele-tele. Hajar dulu, urusan belakangan. Dan... bres! Bres! Bres! Setelah semuanya luluh-lantak, setelah semuanya jadi abu, setelah nyawa pegat dari raga, barulah kita ngungun dan bertanya-tanya, betapa telah kelewat jauhnya kita dari yang disebut beradab.
Tapi untunglah, kita masih menyisakan orang-orang baik macam Birong dan Zaenal, serta saudara-saudara lainnya yang senantiasa menjaga akal sehatnya, sehingga tidak gampang tersulut amarahnya oleh sebuah sebab yang bahkan telah melukai fitrahnya.
Birong, Zaenal, dan saudara-saudara kita yang baik tentu masih percaya, akal sehat adalah benteng pertahanan terakhir bagi kejernihan hati. Akal sehat itulah suluh penerang yang memandu manusia mengenal kemanusiaannya. Itu sebabnya, Zaenal tak ikut-ikutan mengumbar amarahnya dengan membalas membakar kitab suci agama lain. Itulah soalnya, Birong masih bisa tersenyum tatkala gereja di Temanggung dibakar.
Terima kasih Birong, untuk senyummu, juga untuk kebaikanmu dengan tidak ikut-ikutan marah. Moga-moga pikiran dan hati kita senantiasa bersih, agar Tuhan tetap tinggal di hati kita sekalian.
Salam damai, untuk kita sekalian.
From : kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar