Rabu, 13 April 2011

“Soal beginian itu (gedung baru DPR) elit yang pinter-pinter. Kalau dibawa ke kampus, profesor, akademisi, baru bisa ngerti. Kalau rakyat biasa yang penting perut terisi. Jangan libatkan rakyat biasa tentang bagaimana cara memperbaiki sistem, bagaimana memperbaiki organisasi, bagaimana memperbaiki infrastruktur, rakyat biasa bisa pusing pikirannya. Karenanya tidak perlulah melakukan survei opini publik untuk mengetahui respons rakyat soal pembangunan gedung baru DPR”.- Marzuki Alie (Ketua DPR RI)

Apa yang dikatakan Alie tentang rakyat itu bertentangan dengan semangat demokrasi. Jika Alie adalah seorang demokrat yang pemikirannya canggih, ia tentu tidak akan berani mengatakan hal itu. Apakah Alie lupa, bahwa ia adalah orang yang telah dipilih dan dipercaya oleh rakyat untuk duduk di kursi DPR. Apakah Alie lupa, duduknya ia di kursi DPR adalah untuk memperjuangkan apa yang dibutuhkan oleh rakyat. Dan apakah Alie juga lupa, bahwa rakyat adalah suara agung demokrasi. Tanpa rakyat, anda (para wakil rakyat), bukanlah siapa-siapa.

Ada dua topik yang ingin saya bahas dalam tulisan ini untuk menanggapi pernyataan Marzuki Alie di atas. Pertama, tentang suara rakyat. Kedua, hak rakyat untuk tahu. Kedua topik ini penting untuk diperhatikan Alie dan para wakil rakyat lainnya agar lebih memperhatikan kepentingan rakyat sebelum mereka menyatakan suatu pendapat (tentang pembangunan gedung baru DPR) yang dapat menyakiti hati rakyat dan mencederai demokrasi.

Suara Rakyat


William of Malmesbury di abad 12 mengungkapkan, "Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei)". Ungkapan ini bukan tanpa makna. Di abad 17-18, ungkapan ini dimunculkan kembali untuk memberikan reaksi terhadap Raja Louis XIV dari Prancis (1643-1715), karena perkatannya yang kontroversial, “L’etat c’est moi/hukum adalah saya”. Pernyataan tersebut hendak menegaskan bahwa Raja Louis XIV itu mewakili suara Tuhan, atau apapun kebijakan yang dikeluarkan olehnya, pastilah mewakili suara Tuhan.

Dalam sistem politik demokrasi, filosofi “hukum adalah saya” tidak lagi populer, karena hanya akan menghasilkan rezim yang despot. Dengan demokrasi tidak ada lagi istilah despot dalam arti kesewenangan penguasa. Itu berarti demokrasi telah memberikan keistimewaan pada rakyat untuk menentukan siapa penguasa yang harus duduk di kursi kekuasaan. Dalam konteks ini, penguasa yang dipilih oleh rakyat (terpilih secara demokratis) adalah penguasa yang akan selalu mengemban amanat rakyat dan dalam mengambil langkah-langkah kebijakan, penguasa tersebut selalu mengutamakan kepentingan rakyat atau kebijakan tersebut pastinya tidak akan merugikan rakyatnya.

Begitu pentingnya suara rakyat, pada peresmian makam nasional Gettysburg, di tengah kecamuk perang saudara besar-besaran demi mempertahankan keutuhan Amerika Serikat sebagai sebuah negara, Presiden Abaraham Lincoln mengatakan, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tak akan pernah menghilang dari muka bumi ini”.

Telah menjadi kesepakatan umum, bahwa pendefinisian demokrasi seperti apa yang dikatakan oleh Lincoln adalah tepat. Penggunaan kata rakyat adalah penegasan tentang pentingnya suara rakyat dalam kehidupan demokrasi. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa dalam demokrasi, rakyat memiliki hak untuk memilih, berbicara, mengkritik, dan menyatakan pendapat. Bukankah ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28 yang isinya menyatakan tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan.

Sehubungan dengan hal itu, Alie dan para wakil rakyat lainnya seharusnya memahami tentang pentingnya suara rakyat. Jika hal itu dapat dipahami dengan baik, mereka akan tahu apakah suara rakyat mengatakan setuju atau tidak dengan rencana pembangunan gedung baru DPR. Dan instrumen terbaik untuk dapat mengetahui suara rakyat itu adalah melalui survei opini publik.

Hak Rakyat untuk Tahu

Rencana pembangunan gedung baru DPR telah melahirkan kontroversi. Para pengkritik cenderung menilai para wakil rakyat di DPR tidak aspiratif dalam menampung keinginan rakyatnya karena pembangunan gedung DPR yang super mewah itu dinilai sebagai sikap pemborosan. Sementara itu, para wakil rakyat kita menilai sebaliknya, dengan mengatakan pembangunan gedung baru DPR adalah suatu keharusan, mengingat daya tampung ruang yang tidak lagi mencukupi. Kontroversi semakin meruncing setelah Marzuki Alie memberikan pernyataan tentang tidak perlunya rakyat dilibatkan dalam hal pembangunan gedung baru DPR. Bahkan ia menolak dilakukannya survei opini publik untuk mengetahui respons rakyat.

Padahal dalam demokrasi, pemerintah dan para wakil rakyat kita, diharuskan sebisa mungkin, bersikap terbuka. Artinya, gagasan dan keputusannya harus terbuka bagi pengujian publik secara seksama. Sudah barang tentu, tidak semua langkah pemerintah dan wakil rakyat harus dipublikasikan, namun rakyat punya hak untuk mengetahui bagaimana uang mereka dibelanjakan.

Dengan biaya yang begitu besar, yang memakan anggaran sampai Rp. 1,16 triliun, rakyat tentu perlu tahu apa alasan dari rencana pembangunan gedung baru DPR. Jika wakil rakyat hanya menggunakan asumsi tentang tidak mencukupinya ruang dalam membangun gedung baru DPR, tentu hal itu bukanlah sebuah penjelasan yang rasional. Apalagi terdengar kabar yang menyebutkan masih ada satu anggota DPR yang memiliki dua ruang sekaligus.
Penjelasan tentunya harus di barengi dengan urgensi. Tentang apakah pembangunan gedung baru DPR itu lebih urgen dari hal-hal mendesak lainnya seperti agenda kerja untuk mensejahterakan rakyat.

Untuk itu para wakil rakyat kita ditekankan untuk selalu mengedepankan kepentingan rakyat sebelum memutuskan menggunakan anggaran yang sangat besar dalam membangun gedung baru DPR, mengingat masih memperihatinkannya kondisi rakyat Indonesia dari segi ekonomi. Andaikan dana sebesar itu digunakan untuk kepentingan rakyat, tentu hal itu akan lebih bermanfaat dan DPR akan di puji oleh rakyat dan bukannya dikritik.

Sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Arif, jika dana sebesar itu digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti membangun 116 unit rumah bagi fakir miskin dengan asumsi per rumah menghabiskan dana Rp100 juta, maka rakyat akan mendapatkan rumah yang bukan tipe RSSS (rumah sangat sederhana sekali) yang umumnya mereka tempati pada saat ini. Atau akan lebih baik lagi jika dana Rp 1.16 triliun itu digunakan untuk membuka lahan pertanian seluas 20 ribu hektare. Telah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas petani kita saat ini merupakan petani penggarap alias tidak punya lahan (opini detik.com, 31 Maret 2011).

Itulah alasan mengapa rakyat perlu tahu. Karena jika rakyat tidak tahu atau tidak dilibatkan dalam hal ini, maka para wakil rakyat kita itu pantas disebut oleh apa yang Franz Magnis Suseno (2004) katakan, “…’UANG bagi mereka adalah segala-galanya’. Mereka itu adalah elit negara kita. Elit yang sudah lupa akan rakyat yang membiayai mereka. Elit yang sedang merusak negara ini karena mereka berpolitik ‘tanpa suara hati’, karena agama pada mereka merosot menjadi ‘aspirasi’ daripada ‘inspirasi’, karena bagi merekalah uang segala-galanya”.

Sumber : Penulis adalah analis media sosial di LSI Network

Tidak ada komentar:

Posting Komentar